Karman melangkah pulang ke rumah dengan sedikit gontai bersama banyak pikiran memenuhi rongga-rongga otaknya, dia tidak habis mengerti mengenai keadaan lingkungannya yang dalam pandangannya terasa mulai berubah tidak seperti zaman remaja bahkan zaman kecilnya dulu, perubahan secara radikal yang sepertinya terhitung semenjak masyarakat disekitarnya senang akan mengkonsumsi kotak berwarna di atas meja yang menyajikan aneka menu berita, tentang kriminalitas, HAM, pelecehan seksual, atau bahkan menonton para penggosip murahan yang acapkali mereka bumbuhi dengan merendahkan harga diri lainnya, tentang aib yang diumbar, dan tentu saja politik!.
Seharian tadi Karman sudah memenuhi kewajibannya sebagai seorang imam , pemimpin sebuah keluarga kecil yang dirasakannya bahagia, dengan kata lain keringatnya hari ini adalah bukti tanggung jawab yang ia pikul selaku seorang ayah dari kedua puteri cantiknya serta sebagai seorang suami teladan dari seorang istri yang selalu setia menunggui suaminya pulang tanpa pernah terucap omelan sedikitpun, sifat itulah yang membuat Karman dulu mencintainya sepenuh hati, bekerja sebagai kuli bangunan yang kata orang-orang sukses adalah sebuah pekerjaan yang tidak akan pernah memberikan kemapanan, namun justeru Karman mempunyai banyak waktu untuk berfikir tentang keadaan sekitar melalui pengamatan sederhana, melihat banyak hal dari sudut pandang lain dan mengikuti lahirnya sebuah perubahan kecil yang lambat laun telah menjadi sebuah tradisi dan budaya dalam kampungnya, atau bahkan dengan gamblang ia telah menyaksikan tentang semangat masyarakat yang sudah mulai kendor tergerus tren urbanisasi dan keserakahan diri sebagai pemuja materialisme, sebuah semangat keberagaman dan kegotong royongan yang kini hampir menjadi sebuah cerita indah, miris! .
Sebenarnya tidak banyak orang seperti Karman yang memanfaatkan malam sebagai obyek perenungan, berteman dengan rokok lintingan terbuat dari tembakau murahan dan kopi hitam sedikit manis, jika pun istrinya sedang ada kelebihan uang belanja maka dengan setia dia akan membuatkan sekedar pisang goreng atau bakwan gandum sebagai teman si kopi dan si lintingan, kadang kala ada satu dua teman sebaya di kampungnya datang untuk sekedar mengobrol , menemani hingga larut malam, kesederhanaan hidup serta kejujuran berucaplah yang membuat temannya kerap mendatangi untuk berbagi cerita.
Kemelaratan tidak bisa dihindari karena ia adalah peran yang harus dimainkan meskipun banyak orang menyangkalnya, entah karena Karman menyukai peran itu atau karena ia dan keluarganya tidak pernah berada dalam kondisi ekonomi mapan menurut para tetanggannya yang membuatnya nampak melarat dengan masih menghuni sebuah rumah sederhana terbuat dari gedek bambu tanpa kursi-kursi di dalamnya serta temaram lampu neon 10 watt yang selalu menemani terang malam-malam panjangnya.
Dalam 2 bulan terakhir ini seorang Karman yang biasanya nampak rajin mengikuti berbagai kegiatan kampung tiba-tiba menjadi pribadi yang tertutup, jarang bergaul, dan seperti punya perangai untuk menghindari setiap keramaian yang ada di kampungnya, kasak-kusuk para tetangga terdengar dari beberapa sudut kampung sepinya, membicarakan sebuah perubahan drastic pada diri Karman, santer terdengar Karman sekarang sudah punya jalan yang berbeda dengan para tetangganya, bahkan isu miring dari nyinyiran terbusuk yang sempat terdengar adalah Karman menutup dirinya karena sudah bergaul dengan jaringan radikal, Karman sendiri tidak pernah menggubrisnya bahkan sifat murah senyumnya tetap dapat dinikmati oleh warga kampung kecuali Karman memang saat ini menutup segala akses aktifitasnya kepada penduduk kampung dimana ia dan keluarganya tinggal.
Bukan karena mengikuti radikalisme, Karman paham betul tentang arti fundamentalis, radikal, aliran kanan, maupun kiri, namun kesengajaan dalam menjaga pergaulan lebih disebabkan karena factor bahaya riya’, pamer, dan doktrin sekulerisme di kampungnya, Karman tidak habis piker tentang perubahan pola pikir dari para tokoh garda depan dikampungnya yang sering disebut kyai itu kini sudah menggampangkan klaim kebenaran, mengkafiran terhadap sesama, maupun bujukan-bujukan untuk masuk kedalam politik praktis, pengamatan sementara Karman tertuju pada kotak berwarna diatas meja bernama televisi yang saat ini sudah begitu masif berpengaruh sekali terhadap nalar abstrak bernama iman, selain televisi kecurigaan Karman jatuh pada para politisi yang sekarang mulai turun hingga kampung-kampung untuk mendulang suara, kecurigaan ini bukan tanpa alasan karena pengaruh dari janji manisnya sudah terasa, Karman melihat bendera-bendera parpol mulai berkibar di sana-sini menghias hijaunya jalan asri dengan pagar pohon perdu dikampungya, pengajian ibu-ibu diwarnai dengan mengarahkan kepada gambar parpol tertentu, kumpulan pemuda sedikit banyak membahas tentang siapa caleg yang pantas mendapat dulangan suara dari mereka, dan bahkan pada khotbah di masjid yang suci tempat Tuhan berumah pun terselip ucapan murahan tentang kebenaran parpol tertentu dan menyesatkan parpol lainnya dari bibir manis sang khotib.
Menurut Karman ini sungguh kejadian luar biasa, dimana mereka yang dulu bersuara bahwa agama adalah pemersatu, agama adalah segala nilai keindahan?, yang ada sekarang adalah agama sebagai alat untuk mengolok-olok golongan tertentu, ini sebuah kebiadaban yang harus dilawan walau harga diri sebagai taruhan suara batin Karman terdengar tegas dan penuh kepiluan, inilah alasan Karman saat ini mengasingkan diri dari kerumunan orang banyak, Karman hanya ingin jeritan suara pedihnya didengarkan, bukan .., Karman bukan membenci parpol, Karman tidak anti caleg namun tempat dan waktunya harus jelas, jangan ketika dakwah bendera dibawa, jangan ketika ngobrol sehabis wiridan dimasjid warna baju dibahas, jangan ketika pengajian ibu-ibu nama caleg ditawarkan, bermain kok tidak elegan!, Karman menghela nafas panjang sembari melinting rokok tembakau murahannya seraya berfikir bagaimana masyarakat kampungnya tidak terlalu dalam terjerumus kepada pemikiran politik praktis yang ujung-ujungnya adalah saling membenci, seperti menaburkan bibit-bibit perbedaan yang akhirnya membuahkan klaim kebenaran dan saling menjatuhkan satu dengan yang lain, Karman bingung harus berbuat apa dan bagaimana, tidak terasa waktu hampir pukul 03.00 dini hari saat dilihatnya tembakaunya mulai menipis setelah itu ia merebahkan tubuhnya di bentangan tikar pandannya yang mulai terlihat lusuh. ( tegelinang 2018 )